3/06/2011

karya ilmiah bahasa indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A. Permasalahan
Kualitas sumber daya manusia dipengaruhi oleh beberapa aspek yaitu, IQ, EQ, dan SQ, Salah satu aspek tersebut, yaitu IQ sangat berpengaruh dalam mencapai prestasi pendidikan, yang ditandai dengan prestai yang baik dan ini akan berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan, sehingga dapat meningkatkan kualitas manusia. Seperti yang dikatakan Allen (dalam AS’ad, 1978) tentang pentingnya unsur manusia, betapapun sempurnanya rencana organisasi, pengawasan, dan penelitian, bila mereka tidak dapat menjalankan tugasnya dengan minat dan perasaan gembira, maka tidak akan mencapai hasil sebesar yang seharusnya dapat dicapai.
Seperti halnya yang terjadi pada Ujian Nasional (UN) tahun ini, terdapat kenaikan persentase siswa yang tidak lulus ujian. Dari 18.204 siswa SMK yang mengikuti ujian 4.513 siswa atau 24,79% tidak lulus. Disusul SMA/MA dengan siswa yang tidak lulus 5.221 siswa 22,64% serta SMP/MTs diman 8.923 siswanya atau 15.59% tidak lulus (Kompas, 2005)
Tingginya angka ketidak lulusan siswa dikarenakan standar kelulusan UN naik, dari tahun lalu 4,01, menjadi 4,26 tahun ini, dan juga pada tahun ini pemerintah tidak melakukan konversi nilai atas hasil Ujian Nasional (UN). Pengolahan nilai dilakukan dengan metode skor relative, yakni jawaban benar dibagi total pertanyaan, dikalikan 10, artinya nilai UN diberikan apa adanya. Namun mereka yang tidak lulus tersebut diberikan kesempatan mengikuti Ujian tahap kedua pada 22-24 Agustus 2005 (Kompas, 2005)
Tingginya angka ketidaklulusan siswa bukan hanya disebabkan oleh tidak adanya konversi nilai dan dinaikkannya standar kelulusan UN dari 4,01 menjadi 4,26, tapi juga disebabkan kurangnya motivasi berprestasi dan kemauan untuk maju dari siswa maupun guru atau sekolah.
Pendidikan pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu proses bantuan yang diberikan dalam usaha mencapai perkembangan anak didik yang optimal, sesuai dengan bakat, kemampuan dan minat anak tersebut. Tugas pendidikan adalah mendorong memberikan inspirasi, mengarahkan dan membantu anak didik dalam mencapai tujuan dan bukan semata-mata menerapkan hal-hal yang terdapat dalam buku (Whiterington), 1982).
Salah satu indicator ketidak berhasilan dalam pelaksanaan proses belajar mengajar adalah rendahnya tingkat hasil belajar siswa, setiap siswa tidak selalu memperoleh hasil yang diharapkan dalam arti relative rendah, kenyataan sering di temui bahwa siswa yang memperoleh hasil belajar jauh dibawah rata-rata standar UN adalah normal bila dibandingkan dengan hasil belajar yang diperoleh temn-temannya dalam satu kelas yang mempunyai hasil belajar yang relatif rendah. Tetapi banyak juga ditemui sejumlah siswa yang sama tinggi potensinya tidak sebaik potensinya, bahkan mungkin lebih rendah dari temn-temannya yang memiliki potensi yang kurang dari mereka. Hal tersebut disebabkan karena adanya beberapa faktor yang berhubungan dan mempengaruhi hasil belajar siswa. Faktor tersebut dapat berasal dari siswa, sekolah, keluarga atau masyarakat. Faktor yang berasal dari dalam diri siswa merupakan faktor yang sangat menentukan dalam usaha mencapai prestasi belajar yang tinggi karena siswa merupakan subjek dari tujuan pendidikan disekolahan sehingga pada diri siswa diharapakan adanya perubahan-perubahan positif, sebagai hasil tes dari proses belajar mengajar di sekolah, siswa merupakan pribadi utuh yang memiliki karakteristik atau sifat-sifat kepribadian yang berbeda-beda.
Menurut Sardiman (1987) karakteristik individual siswa adalah pola kelakuan dan kemampuan siswa yang menentukan pola aktivitas dalam meraih cita-cita. Pola kelakuan dan kemampuan tersebut meliputi taraf intelegensi, gaya belajar, motivasi, belajar, sikap dan minat belajar. Jadi karakteristik individual siswa ikut menentukan prestasi belajar.
Prestasi belajar sendiri di pengaruhi oleh :
1. Motivasi, baik itu motivasi intrinsic ataupun motivasi ekstrinsik
2. Linkungna, baik lingkungan social ataupun lingkungan non social
3. Kemampuan anak, dalam arti kecerdasan yang dimiliki oleh anak
4. Minat anak dalam belajar
5. Bakat yang dimiliki oleh anak
6. Fasilitas belajar yang mendukung.
Motivasi berprestasi mempunyai peran yang sangat penting dalam proses pendidikan karena tanpa adanya motivasi sulitlah rasanya untuk mengharapkan sesuatu yang pretatif (Irfan, 2000). Tanpa adanya motivasi bearti seorang pelajar tidak akan bekerja keras demi meraih prestasi, adanya motivasi berprestasi yang tinggi pada diri seorang pelajar maka diharapkan pelajar akan memberikan usaha yang keras dalam mewujudkan prestasinya dan tidak melakukan hal-hal yang dapat menghambatnya dalam meraih prestasi tersebut.
Dari hasil penelitian sebelum diketahui bahwa perkembangan motivasi berprestasi bersumber dari masa kanak-kanak. Perkembangan motivasi berprestasi ini dipengaruhi oleh cara orang tua mengasuh anak (Winterbottom, dalam Martaniah, 1982).
Remaja adalah generasi yang akan mengisi posisi dalam masyarakat, bansa dan Negara dimasa depan (Sarwono,1991). Demikian maka pembahasan remaja sebagai generasi berprestasi harus dilakukan secara mendalam.
Menurut Ancok (1993), problem yang banyak di hadapi remaja antara lain lemahnya motivasi berprestasi dan kurangnya semangat untuk maju. Oleh karena itu remaja memerlukan dukungan dari lingkungan, baik dukungan moril maupun materiil dalam berprilaku. Lingkungan terdekat dari remaja adalah orang tua, guru dan teman. Keluarga merupakan tempat untuk pertama kalinya seorang anak memperoleh pendidikan dan mengenal nilai-nilai maupun peraturan-peraturan yang harus diikutinya serta mendasari anak untuk melakukan hubungan social yang luas, peran orang tua tetap dibutuhkan dalam perjalanan usia kanak-kanak sampai dewasa, dan yang lebih penting adalah pada masa remaja. Hal ini juga di dukung oleh pendapat Sarwono (1989) yang menyatakan bahwa adanya perhatian orang tua terhadap remaja dapat mendorong remaja untuk berprestasi di sekolah.
Sebagai peletak dasar kepribadian manusia, keluarga merupakan sumber pendidikan yang pertama dan utama, karena segala pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia pertama-tama di peroleh dari orang tua dan anggota keluarga sendiri, jadi keluarga merupakan lingkungan primer bagi hamper setiap individu.
Sebagai lingkungan primer, hubungan antara manusia yang paling awal dan paling intensif terjadi dalam keluarga. Sebelum anak mengenal lingkungan yang lebih luas, terlebih dahulu anak mengenal lingkungan keluarganya. Oleh karena itu sebelum anak mengenal norma-norma dan nilai-nilai dari masyarakat umum, anak peryam kali menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam keluarganya untuk di jadikan bagian dari kepribadiannya. Nilai yang berasal dari keluarga di turunkan melalui pendidikan dan pengasuhan orang tua sebagai pimpinan keluarga berperan dalam meletakan dasar-dasar kepribadian anak melalui sikap, prilaku dan kebiasaan orang tua. Anak belajar menyesuaikan diri dengan system kebiasaan yang di peroleh dari orang tua dan pada suatu saat nanti akan membentuk kepribadian tertentu.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya orang tua memegang peranan penting dalam pendidikan anak, oleh karena itu komunikasi yang berlangsung dengan baik akan lebih mudah bila di antara kedua pihak ada sikap saling terbuka. Soekadji (1986) mengemukakan bahwa individu yang berpendidikan tinggi akan cenderung lebih bersikap terbuka.
Sikap terbuka menurut Rusbiyanti (1987) yang mengutip dari staff yayasan CLC, adalah suatu kebiasaan yang menunjukan bahwa seseorang senang berkomunikasi, berdialog serta senang mengungkapkan diri, baik perasaan, pengalaman, keinginan, berdialog serta senang mengungkapkan diri, baik perasaan, pengalaman, keinginan, cita-cita atau permasalahannya kepada orang lain yang berarti bagi dirinya, yaitu orang lain yang dekat dan mempunyai hubungan emosional dengan dirinya.
Ketua Komisi Nasional (Komnas) Anak Seto Mulyadi menyatakan, pada era globalisasi ini komunikasi antara orang tua dan anak makin dangkal. Selain akibat apa yang ia sebut gempuran budaya visual, kenyataan ini diperparah oleh kecenderungan pengalihan tanggung jawab pengasuhan anak kepada lembaga pendidikan formal. Akibatnya, anak tidak terbiasa berdialog dan kehilangan kreativitas (Kedaulatan Rakyat, 2005)
Demikian dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi pemberian motivasi terhadap anak, orang tua yang berpendidikan tinggi umumnya lebih mengerti akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka, ia menyadari bahwa keberhasilan anak di sekolah atau dalam belajar tidak hanya tergantung kepada guru/pihak sekolah, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga.
Berdasarkan hal tersebut diatas penulis ingin mengetahui apakah ada hubungan antara motivasi berprestasi dari orang tua dan tingkat pendidikan orang tua terhadap prestasi belajar pada remaja.


B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang ada tidaknya hubungan dan sumbangan efektif dari motivasi berprestasi dan tingkat pendidikan orang tua dengan prestasi belajar pada remaja.

C. Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang apakah ada hubungan antara dari orang tua dan tingkat pendidikan orang tua terhadap prestasi belajar pada remaja.
Manfaat Praktis
Informasi tersebut dapat di jadikan sebagai masukan bagi para orang tua dalam mendidik dan memberikan motivasi kepada anaknya, selain itu penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu psikologi pendidikan khususnya tentang motivasi berprestasi.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PRESTASI BELAJAR
masalah belajar merupakan pokok dalam dunia pendidikan, yaitu sebagai tindak pelaksana, dimana siswa belajar dan guru mengajar. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan hal-hal yang berhubungan dengan prestasi belajar.
1. Pengertian Belajar
Belajar adalah bagian dari suatu kehidupan. Seseorang dikatakan telah melakukan proses belajar apabila pada diri orang tersebut terjadi perubahan dari tidak mengetahui sesuatu menjadi mengetahui, perubahan dari tidak dapat melakukan sesuatu menjadi dapat melakukannya. Belajar itu berlangsung bila terjadi perubahan atau modifikasi dalam tingkah laku. Belajar adalah membawa perubahan dalam arti behavioral chanche, actual maupun potensial. Perubahan itu pada pokoknya adalah didapatkannya kecapan baru yang terjadi karena usaha dengan sengaja (Suryabrata, 1990).
Banyak lagi definisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai belajar. Horny (1986) mengatakan bahwa “ learning is advanced knowledge gained by careful study “. Slameto (1988) mendefinisikan belajar sebagai proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungan.
Menurut Masrun dan Martaniah (dalam Simanjuntak, 1999), belajar adalah pengubahan secara lahir dan batin yang positif dan aktif menuju tertentu. Sedang Hamalik (dalam Madina 1998) member batasan belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru karena pengalaman dan latihan. Menurut Zimbardo (dalam Madina 1998), belajar didefinisikan sebagai suatu perubahan tingkah laku yang relative tetap sebagai akibat dari pengalaman. Semua makhluk hidup mempunyai kemampuan untuk belajar tentang dua dasar kehidupan yaitu kejadian yang pernah dialami (pengalaman masa lalu) dan respon terhadap kejadian tersebut.
Gejala belajar Nampak dari adanya perubahan tingkah laku yang sifatnya relative bertahan, dapat bersifat actual dan potensial Sukarti (dalam Simanjuntak, 1999). Menurut Tinghe (dalam Saifullah, 1999), belajar oleh ahli psikolog didefinisikan sebagai suatu perubahan yang tetap pada tingkah laku sebagai akibat dari pengalaman. Pengetahuan tentang belajar atau ilmu jiwa belajar mencari untuk menetapkan syarat-syarat dari prinsip-prinsip yang menguasai perubahan-perubahan tersebut.
Chaplin (dalam Syah, 1995) membatasi pengertian belajar dengan dua rumusan, rumusan pertama bahwa belajar adalah perolehan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman,. Rumusan kedua bahwa belajar ialah proses memperoleh respon-respon sebagai akibat adannya latihan khusus. Ahmad dan Supriyono (1991) mengemukakan bahwa secara psikologis, belajar berarti suatu usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungan.
Menurut Gagne (dalam Simanjuntak, 1999), belajar berlangsung bila terjadi perubahan atau modifikasi dalam tingkah laku. Belajar merupakan suatu peristiwa yang terjadi pada diri seseorang sebagai akibat interaksi dan komunikasi dengan berbagai pengalaman (internal dan eksternal) yang memungkinkan terjadinya perubahan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap sebagai pengalaman endukatif. Berbagai kegiatan yang timbul dari dorongan lingkungan merupakan masukan bagi suatu proses belajar. Kejadian belajar ini dapat dilukiskan melalui tahap-tahap perbuatan belajar dan proses yang berhubungan dengan kejadian tersebut.
Tahap-tahap belajar itu terdiri dari:
a. Tahap motivasi yang mengandung harapan-harapan yang dapat membangkitkan alasan untuk berbuat
b. Tahap pemahaman yang mengandung perhatian dalam mengadakan pilihan dan penerimaan
c. Tahap akusisi yang mengandung aturan pemasukan dan penyimpanan
d. Tahap penahan yang berisi mengingatkan dan menyimpan
e. Tahap memanggil kembali yang berarti mampu mendapatkan kembali
f. Tahap generalisasi yang mengandung penggantian atau transfer
g. Tahap performans yaitu perbuatan yang mengandung jawaban terhadap sesuatu yang pernah dimiliki
h. Tahap balikan yang mengandung penguatan atau reinforcement
Rangkaian tahapan ini terjadi secara berkesinambungan yang bersifat internal dan eksternal. Kejadian proses belajar secara eksternal yang direncanakan dengan baik bagi tujuan belajar disebut bimbingan belajar.
Proses belajar itu sendiri, antara lain :
a. Belajar dari sinyal (sinyal learning)
b. Belajar berdasarkan stimulus-respons (stimulus-response learning)
c. Menghubungkan (chaining)
d. Asosiasi Verbal (Verbal association)
e. Mempelajari Konsep (concept learning)
f. Belajar dengan membedakan (discrimination learning)
g. Mempelajari Peraturan (rule learning)
h. Pemecahan Masalah (problem solving)
Proses belajar berlangsung sejak seseorang mulai belajar dan dapat berlangsung dalam berbagai cara. Suatu teori belajar tidak cukup hanya menjelaskan proses belajar secara menyeluruh, belajar dapat terjadi secara asosiatif dan kognitif atau gabungan keduanya yang merupakan suatu rangkaian proses belajar (Sukarti dalam Simanjuntak, 1999)
Dari npengertian diatas dapat disimpukan bahwa pada dasarnya belajar adalah bagian dari suatu kehidupan. Seseorang dikatakan telah melakukan proses belajar apabila pada diri orang tersebut terjadi perubahan dari tidak mengetahui menjadi mengetahui, dari perubahan tersebut didapatkan kecakapan baru. Belajar juga didefinisikan sebagai proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang sifatnya tetap, sebagai dari pengalaman dan latihan.
2. Pengertian Prestasi Belajar
Menurut Notonegoro (dalam Ilmoe, 1993), Prestasi belajar adalah tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran disekolah yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari tes mengenai sejumlah mata pelajaran tertentu.
Sedangkan menurut Dakir dkk (1991), prestasi belajar adalah suatu hasil yang dicapai dalam perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman.
Wirawan (dalam Saifullah, 1999) menyebutkan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang dapat atau dicapai seseorang dari usaha belajarnya yang telah dilakukan dalam periode tertentu. Masrun dan Martaniah (dalam Suryningdyah, 2000) mengatakan bahwa prestasi belajar dipakai sebagai ukuran untuk mengetahui hasil kegiatan belajar yakni sejauh mana anak didik dapat menguasai bahan pelajaran yang dianjurkan atau dipelajari.
Prestasi belajar siswa merupaka hasil belajar yang dapat dicapai pada saat dilakukan evaluasi. Evaluasi ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana penguasa siswa terhadap berbagai hal yang pernah diajarkan atau dilatihkan menyeluruh (Mangindaan dalam Saifullah, 1999)
Menurut Gagne (dalam Simanjuntak 1999) hasil belajar dikelompokkan menjadi :
a. Informasi Verbal, terdiri dari norma, prinsip, generalisasi yang disampaikan secara lisan
b. Ketrampilan Intelektual terdiri dari diskriminasi, konsep, aturan, dan pengaturan yang lebih tinggi yang dapat melibatkan siswa unuk melakukan berbagai hal dengan mempergunakan symbol dari lingkungan.
c. Strategi Kognitif merupakan kemampuan dalam mengorganisir perhatian atau memusatkan perhatian, belajar, ingatan, berfikir sehingga seseorang mampu mengendalikan proses belajarnya sendiri.
d. Sikap merupakan salah satu bentuk belajar dan berbagai sikap dapat diidentifikasi sebagai tujuan pendidikan.
e. Ketrampilan Motorik dipelajari dalam hubungannya dengan kegiatan manusia, misalnya mengendarai sepeda, sepeda motor, mobil, dan bermain music.
Prestasi belajar siswa tergantung dari seberapa jauh dapat dikembangkan informasi verbal, kemampuan intelektual, strategi kognitif, sikap, dan kemampuan motorik.
Menurut Bigge (dalam Madina 1998), variasi masukan tingkah laku kognitif dan afektif serta kualitas pengajaran turut menentukan prestasi belajar. Tinggi rendahnya prestasi belajar tergantung dari taraf dan jenis belajar serta landasan belajar afektif yang berhubungan dengan tugas-tugas sekolah (Bloom, dalam Yaswardi 1999)
Demikian dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah tingkat keberhasilan siswa dalam belajar. Prestasi belajar juga dapat dijadikan sebagai ukuran untuk mengetahui hasil belajar seseorang yang dicapai pada saat evaluasi, hasil belajar tersebut dikelompokkan menjadi :
1. Informasi verbal
2. Ketrampilan intelektual
3. Strategi kognitif
4. Sikap
5. Ketrampilan motorik

3. Prinsip - Prinsip Belajar
Dalam belajar digunakan prinsip. Prinsip ini digunakan sebagai pedoman dalam belajar. Adapun prinsip – prinsip belajar itu antara lain :
a. Belajar adalah suatu proses aktif dimana terjadi hubungan saling mempengaruhi secara dinamis antara siswa dengan lingkungan.
b. Belajar yang paling efektif apabila didasari dorongan motivasi yang murni dan bersumber dari dirinya sendiri.
c. Belajar senantiasa harus bertujuan, terarah, dan jelas bagi siswa.
d. Jenis belajar yang paling utama adalah belajar untuk berfikir kritis, lebih baik dari pembentukan kebiasaan – kebiasaan mekanis.
e. Belajar harus disertai dengan keinginan dan kemauan untuk mencapai tujuan atau hasil.
f. Belajar dianggap berhasil apabila si pelajar sanggup mentransfer atau menerapkan kedalam bidang praktek sehari-hari (Hamalik dalam Madina,1998).
4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Berbicara tentang factor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar tidak akan terlepas dari proses belajar, karena prestasi belajar ditentukan oleh bagaimana prose situ berlangsung. Ada banyak factor yang mempengaruhi proses belajar tetapi faktor-faktor tersebut pada dasarnya dapat digolongkan menjadi : (a) faktor internal dan (b) faktor eksternal (Gunarsa, dalam Yaswardi 1999)
a. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu yang meliputi faktor fisiologis dan faktor psikologis : faktor fisiologis berkaitan dengan keadaan jasmani pada umumnya dan keadaan panca indra terutama penglihatan dan pendengaran. Faktor-faktor psikologis meliputi minat, bakat, perasaan, motivasi, sikap dan kebiasaan, dan kemampuan kognitif.
Hengenhahn (dalam Saifullah, 1999) menyebut faktor internal ini sebagai karakteristik siswa yang meliputi :
1). Kemampuan intelektual dan non intelektual, seperti minat, bakat dan motivasi belajar.
2). Faktor-faktor fisik, seperti keadaan indra dan kondisi fisik pada umumnya.


b. Faktor Eksternal
factor eksternal adalah factor yang datang dari luar individu yang meliputi :
1. Factor keluarga, yang meliputi hubungan anak dengan orang tua , sikap orang tua, ekonomi keluarga, suasana dalam keluarga
2. Factor sekolah, misalnya : proses belajar mengajar, hubungan guru dengan murid, keadaan gedung, disiplin sekolah dan lingkungan masyarakat.
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa selain karakteristik siswa, factor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah :
1. Karakteristik guru
2. Bahan yang dipelajari
3. Media pengajaran
4. Karakteristik fisik sekolah
5. Factor lingkungan dan situasional
6. Kurikulum dan tujuan pengajaran
Factor-faktor yang mempengaruhi proses belajar tersebut, baik factor internal maupun factor eksternal dapat bersifat positif (mendukung) dan dapat pula bersifat negative (menghambat). Apabila factor-faktor tersebut bersifat positif misalnya tingkat kecerdasannya tinggi, tujuan yang jelas, mendapat kesenangan dari hasil belajarnya, banyak melakukan latihan, ingatannya kuat dan mempengaruhi pengalaman belajar sebelumnya tentang bahan yang dipelajari, fasilitas yang memadai dari lingkungan yang kondusif, maka individu tersebut akan memperoleh prestasi belajar yang baik.
5. Pengukuran Pretasi Belajar
Prestasi belajar siswa dihitung dengan cara mengukur atau member nilai berdasarkan kriteria tertentu dalam jangka waktu tertentu.
a. Fungsi Tes Prestasi
Pengadaan tes prestasi ini didasarkan pada beberapa fungsi yang bisa diperoleh, yaitu fungsi penempatan (placement), fungsi formatif, fungsi diagnostic, dan funsi sumatif. Fungsi penempatan adalah penggunaan tes prestasi untuk mengklasifikasikan individu kedalam bidang atau jurusan yang sesuai, misalnya pada saat penjurusan. Fungsi formatif yaitu penggunaan tes prestasi sebagai jalan untuk melihat sejauh mana kemajuan belajar yang dicapai siswa dalam suatu program pelajaran. Kegunannya disini sebagai umpan balik kemajuan belajar, dan biasanya dilakukan ditengah suatu program yang sedang berjalan. Sedangkan fungsi sun\matif adalah tes prestasi yang digunakan untuk memperoleh informasi mengenai penguasaan pelajaran yang telah direncanakan sebelumnya dalam suatu program pelajaran. Tes prestasi sumatif ini biasanya dipakai untuk menentukan siswa berhasil atau gagal dalam menguasai pelajaran pada kurun waktu tertentu. (Azwar, 1996)
b. Penelitian
Pemberian nilai (grading) tes prestasi merupakan proses penerjemahan skor hasil tes yang sudah dikonversikan kedalam klasifikasi evaluatif menurut norma atau kriteria yang relevan. Cara melakukan penilaian tersebut bermacam-macam, salah satu contoh adalah dengan memberikan tugas-tugas khusus, memberikan pertanyaan, memproduksi hal-hal yang telah diajarkan dan yang paling utama adalah memberikan ujian pada siswa yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu (Wirawan, dalam Suryaningdyah, 2000). Hasil dari penelitian itu lalu dinyatakan dalam suatu pendapat dan diberikan oleh guru kepada siswa dan orang tua dalam bentuk rapor. Rapor tersebut berisi kemajuan atau hasil belajar siswa dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

6. Prestasi Belajar Pada Remaja
Piaget (dalam Kiranawati, 1992) mengatakan bahwa adolescence adalah suatu fase hidup dengan perubahan-perubahan tercakup yang dalam perkembangan fase kognitifnya, secara psikologis remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, individu memiliki hak yang sama dengan orang dewasa, individu mengalami perunahan intelektual yang menonjol.
E. H. Erikhson (dalam Hendriani, 1996) mendefinisikan remaja sebagai masa timbulnya perasaan baru tentang identitas. Pada fase ini terbentuk gaya hidup yang khas sehubungan dengan penempatan dirinya.
Sedangkan Calon (dalam Monks, 1991) mengatakan bahwa masa remaja adalah masa yang menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau peralihan, karena pada masa ini remaja belum meperoleh status dewasa tetapi tidak lagi memperoleh status kanak-kanak.
Selaras dengan pendapat Haditono (dalam Hendriyani, 1996) yang mengatakan bahwa masa remaja bagaikan masa yang bergolak. Dalam masa ini yang berlangsung dari usia 12 sampai 21 tahun banyak terjadi perubahan, baik fisik maupun psikis. Perubahan-perubahan tersebut dapat menyebabkan kekacauan batin remaja. Masa remaja juga disebut dengan transisi dari masa kanak-kanak kemasa dewasa yang menimbulkan perubahan yang menegangkan. Remaja merasa tidak puas, selalu ingin penampilan yang berbeda serta timbul konflik dalam dirinya.
Prestasi belajar pada remaja sangatlah dipengaruhi oleh lingkungan sekitar kurang mendukung, maka prestasi belajarnya pun kurang baik.
Ramplein (dalam Haditono dkk, 2002) berpendapat bahwa masa remaja dibagi menjadi beberapa batasan usia, yaitu :
a. Masa pubertas, berlangsung pada usia 10,5 tahun sampai 13 tahun untuk wanita dan 12-14 tahun untuk pria
b. Masa remaja awal, berlangsung pada usia 13-15,5 tahun untuk wanita dan 14-16 tahun untuk pria
c. Masa krisis remaja, berlangsung pada usia 15,5-16,5 tahun untuk wanita dan 16-17 tahun untuk pria
d. Masa adolescence, berlangsung pada usia 16,5-20 tahun untuk wanita dan 17-21 tahun untuk pria.
Cole (dalam Hendriyani, 1996) membagi tahap perkembangan remaj sebagai berikut
a. Masa remaja awal : Usia 13-15 tahun
b. Masa remaja pertengahan : Usia 15-19 tahun
c. Masa remaja akhir : Usia 19-21 tahun
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa masa remaja merupakan masa trasisi atau peralihan, karena pada masa ini seseorang belum memperoleh status dewasa tetapi tidak lagi memperoleh status kanak-kanak. Karena remaja berada pada masa transisi, maka dalam mencapai prestasi belajar remaja sangat membutuhkan dukungan dari lingkungan terutama dari orang tua, tanpa adanya lingkungan yang mendukung sulitlah rasanya remaja dapat mencapai prestasi yang baik.
B. Motivasi Berprestasi
1. Pengertian Motif dan Motivasi
Istilah motif dan motivasi sering digunakan untuk membahas perilaku individu. Kata-kata motif diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Menurut Suryabrata (1990), motif adalah keadaan dalam diri individu yang mendorong individu tersebut untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan atau mendesak (Sardiman, 1988).
Menurut Martiah ( dalam Madina, 1998) motif merupakan konstruksi yang potensial dan laten yang dibentuk oleh pengalaman-pengalaman yang secara relative dapat bertahan meskipun masih ada kemungkinan berubah, yang berfungsi menggerakkan serta mengarahkan perilaku pada tujuan tertentu. Atkinso (1979) juga menjelaskan bahwa motif dapat diartikan sebagai suatu disposisi laten yang mendorong atau mengarahkan individu untuk mencapai tujuan tertentu.
Woodworth dan Marquis (dalam Sardiman, 1987) membagi motif menjadi tiga bagian:
a. Motif atau kebutuhan organis, meliputi kebutuhan untuk minum, makan, bernafas, seksual, dan kebuthan untuk istirahat
b. Motif darurat, antara lain dorongan untuk menyelamatkan diri, dorongan untuk berusaha dan dorongan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Jelasnya motif ini timbul karena ada dorongan dari luar.
c. Motif objektif, antara lain kebutuhan untuk eksplorasi dan kebutuhan untuk menaruh minat. Motif ini timbul karena dorongan untuk menghadapi dunia luar secara efektif
Hamper sama dengan pembagian diatas, Suryabrata (1990) meggolongkan motif menjadi dua bagian :
a. Motif ekstrinsik, yaitu motif yang berfungsinya disebabkan oleh adanya perangsang dari luar individu, seperti teman sebaya, orang tua, sekolahan dan masyarakat luas
b. Motif interinsik, yaitu motif yang berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar diri individu.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa motif adalah suatu kekuatan yang terdapat dalam diri individu yang menyebabkan individu bertindak atau berbuat untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Motif dapat berasal dari dalam diri individu itu sendiri maupun dari luar diri individu.
Motivasi dapat diartikan sebagai dorongan untuk melakukan aktivitas dalam tujuan tertentu. Konsep motivasi sering digunakan untuk menerangkan perbedaan intensitas suatu perilaku. Oleh Eysenck dkk (dalam Slameto, 1995) dirumuskan sebagai suatu proses yang menentukan tingkat kegiatan, intensitas, konsisten, serta arah umum dari tingkah laku manusia, merupakan konsep-konsep lain, seperti minat, konsep diri, sikap dsb. Siswa yang tampaknya tidak bermotivasi,tetapi mungkin sebenarnya siswa tersebut cukup bermotivasi hanya saja tidak dalam hal-hal yang diharapkan dapat dikuasai oleh siswa. Mungkin siswa cukup bermotivasi untuk berprestasi disekolah, akan tetapi lingkungan tidak mendukung, misalnya teman-teman yang tidak termotivasi
Ada beberapa teori motivasi, salah satu teori yang terkenal kegunaannya untuk menerangkan motivasi siswa adalah yang dikembangkan oleh Maslow (dalam Slameto, 1995) bahwa tingkah laku manusia dibangkitkan dan diarahkan oleh kebuthan-kebutuhan ini yang memotivasi tingkah laku seseorang dan dibagi oleh Maslow kedalam lima kategori sbb:
1. Kebutuhan fisiologis (physiological needs), ini merupakan kebutuhan manusia yang paling dasar, meliputi kebutuhan makan, pakaian, sex, tempat tinggal, yang penting untuk mempertahankan hidup.
2. Kebutuhan rasa aman (safety needs), ini merupakan kebutuhan kepastian dan lingkungan yang aman. Ketidak pastian, ketidakadilan, dan keterancaman, akan menimbulkan kecemasan dan ketakutan pada diri individu.
3. Kebutuhan social (social needs), ini merupakan kebutuhan akan rasa cinta/afeksi dan pertalian dengan orang lain, kepuasan dan perasaan memiliki serta diterima dalam suatu kelompok
4. Kebutuhan penghargaan (esteem needs), ini merupakan kebutuhan rasa berguna, penting, dihargai, dikasihi, dihormati, oleh orang lain secara tidak langsung ini merupakan kebutuhan perhatian,ketenaran, status, martabat dll
5. Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs), ini merupakan kebutuhan manusia untuk mengembangkan diri sepenuhnya, merealisasikan potensi-potensi yang dimilikinya. Pengembangan diri semaksimal mungkin, kreativitas, ekspresi diri dan melakukan apa yang paling cocok, serta menyelesaikan pekerjaan sendiri.
Mc. Cown (dalam Suryabrata, 1990) menyatakan bahwa motivasi intrinsik maupun motivasi ekstrinsik keduanya berfungsi mengarahkan perilaku pada tujuan yang ingin dicapai. Motivasi merupakan suatu kondisi aktif dalam diri individu jika motivasi telah berhubungan dengan suatu pengharapan.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu kekuatan atau dorongan yang sudah aktif dalam diri individu, sehingga menyebabkan individu berbuat, bertindak, atau bertingkah laku untuk mencapai tujuan tertentu yang diinginkan.
Motif dan motivasi merupakan istilah yang mirip atau sama, keduanya merupakan factor utama yang mempengaruhi dan merupakan kekuatan yang menyebabkan individu bertingkah laku (Mc.Clelland, 1980). Motif merupakan bentukpotensial, sedangkan motivasi lebih merupakan bentuk actual (Heckhaunsen, dalam Soeramto, 1997).

2. Pengertian Motivasi Berprestasi
Dalam hubungannya dengan prestasi, motivasi berprestasi mempunyai peranan didalam prestasi seseorang. McClelland (dalam Slavin, 1991), mengemukakan beberapa kebutuhan, yaitu kebutuhan akan motivasi berprestasi (Need for Afiliation). Dalam hal motivasi berprestasi tinggi, bila dihadapkan pada tugas-tugas yang kompleks cenderung melakukannya semakin baik begitu tampak berhasil, dan selalu Nampak penuh semangat dalam usaha menyelesaikantugas dengan baik, serta selalu siap mempelajari bagaimana dapat mengerjakan tugas-tugas dengan lebih baik lagi pada proses selanjutnya.
Istilah motivasi berprestasi mula-mula dikemukakan oleh Mc.Clelland (dalam Slavin, 1991)dengan sebutan yang dikenal dengan istilah Need for Achievement atau disingkat N-Ach. Need for Achievement adalah suatu pikiran yang berhubungan dengan bagaimana melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya atau dengan lebih baik dibandingkan dengan yang pernah dilakukan sebelumnya, lebih cepat dan lebih efisien dengan hasil yang maksimal. Need for Achievement ini merupakan virus mental, jika virus mental ini sudah terjangkit pada diri seseorang, maka akan menyebabkan orang tersebut bertingkah laku secara amat giat.
Lindgren (dalam Slameto, 1995) mengemukakan bahwa motivasi berprestasi dapat diartikan sebagai suatu dorongan yang berhubungan dengan prestasi, yaitu adanya keinginan seseorang untuk menguasai, memanipulasi, mengatur lingkungan social maupun lingkungan fisik, mengatasi rintangan, mempertahankan kualitas kerja yang tinggi dan bersaing melalui usaha yang keras untuk melebihi prestasinya sendiri yang pernah dicapai pada masa lampau.
Menurut Haditono (dalam Madina, 1998), Motivasi berprestasi adalah suatu disposisi meraih prestasi dalam hubungannya dengan nilai standar keunggulan, standar keunggulan yang berkaitan dengan motivasi berprestasi meliputi tiga hal, yaitu :
a. Task Related Standard of Excelence, yakni suatu patokan yang berhubungan dengan hasil yang memuaskan atau dengan kata lain standar keunggulan yang berhubungan dengan kesempurnaan dalam menyelesaikan tugas
b. Self Related of Excelence, yakni suatu patokan prestasi dibandingkan dengan prestasinya sendiri pada masa sebelumnya;
c. Other Related of Excelence, yakni suatu patokan prestasi dibandingkan dengan prestasi yang dicapai oleh orang lain.
Steers dan Porter (dalam Madina, 1995), menyatakan bahwa motivasi berprestasi merupakan kekuatan yang mendorong seseorang untuk berusaha, dengan tujuan mencapai keberhasilan yang didasarkan pada ukuran keunggulan. Ukuran keunggulan ini dapat dibandingkan dengan prestasi orang lain atau prestasinya sendiri yang pernah dicapai sebelumnya.
Dalam melakukan aktivitas-aktivitas individu dihadapkan pada dua kemungkinan, yaitu berhasil atau gagal. Oleh karena itu perilaku yang berhubungan dengan motivasi berprestasi digambarkan sebagai perilaku yang menampakkan adanya harapan untuk sukses atau sering disebut tendensi untuk menolak.
Individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi jika mempunyai tujuan lebih mengharapkan sukses dari pada kegagalan. Oleh karena itu seseorang akan berusaha lebih keras untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan tidak berfikir banyak terhadap kemungkinan gagal. Apabila seseorang berhasil dalam mencapai tujuan, maka orang tersebut akan merasa puas karena hal tersebut atas usahanya, sebaliknya individu yang mempunyai motivasi berprestasi rendah apabila mempunyai tujuan sudah dibayang-bayangi akan adanya kegagalan. Seseorang menganggap bahwa apabila usahanya biasa-biasa saja dan kenyataan sukses, hal tersebut merupakan suatu kebetulan atau keberuntungan dan terima sebagai hal yang wajar. Individu yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi akan merasa marah pada dirinya sendiri dan merasa menyesal apabila prestasi yang dicapai tidak sebaik apa yang diharapkan, karena orang tersebut seharusnya dapat mencapai prestasi yang tinggi kalau dia berusaha lebih keras lagi. Pasaribu (1989) menyatakan bahwa dengan motivasi berprestasi, maka individu yang berkeyakinan dapa mencapai tujuan melalui usaha yang keras adalah individu yang berorientasi untuk sukses dan ini menunjukan adanya moivasi berprestasi yang tinggi pada diri individu tersebut.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang motivasi berprestasi yang telah dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi merupakan kekuatan yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai suatu tujuan, yang berupa suatu prestasi atau hasil yang sebaik-baiknya, dengan patokan keunggulan. Keunggulan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keunggulan yang meliputi kesempurnaan dalam menyelesaikan tugas, keunggulan yang didasarkan pada prestasinya sendiri yang pernah dicapai sebelumnya, dan keunggulan yang didasarkan pada prestasi yang didasarkan orang lain.
3. Ciri-ciri Individu yang Memiliki Motivasi Berprestasi Tinggi
Weiner (dalam Suryaningdyah, 2000) menyatakan bahwa individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi biasanya menunjukan cirri-ciri tertentu, yaitu :
a. Free Choice, yaitu bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi menyukai aktivitas-aktivitas yang prestatif dan mengaitkan keberhasialn dengan kemampuan dan usaha yang keras. Individu akan merasa puas dan bangga atas keberhasilannya sehingga akan berusaha lebih keras lagi untuk meningkatkan segala kemungkinan untuk berprestasi.
b. Persistence behavior,yaitu bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi mempunyai anggapan bahwa kegagalan adalah karena kurang usaha. Oleh karena itu harapan untuk berusaha dan berhasil masih tetap tinggi.
c. Intensif of Performance, yaitu intensitas dalam penampilan kerja, yakni bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi suka bekerja keras dibandingkan dengan individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah
d. Risk Preference, yaitu bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi mempunyai suatu pertimbangan dalam memilih tugas dengan resiko sedang, yakni tugas yang tidak terlalu mudah juga tidak terlalu sukar.
Martanaiah (dalam Yusniarsyah, 1999) mengemukakan bahwa keberhasilan itu disebabkan adanya usaha, sedangkan kegagalan disebabkan tidak adanya usaha. Sebaliknya, individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah menganggap bahwa usaha bukan sebagai suatu yang menentukan prestasi. Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi menganggap penyebab kesuksesan bukan semata-mata karena kemampuan, tetapi lebih disebabkan oleh usaha dan kerja keras. Sebaliknya individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah menganggap kegagalan disebabkan kurangnya kemampuan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasitinggi cenderung suka berusaha dan bekerja keras, mengantisipasi terhadap kegagalan, usaha untuk mengungguli prestasi yang pernah dicapainyasendiri pada masa sebelumnya, kompetisi untuk mengungguli prestasi yang dicapai orang lain, kesempurnaan dalam menyelesaikan tugas, kepercayaan kepada diri sendiri, dan cenderung memilih tugas dengan resiko sedang.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi
Setiap orang mempunyai tingkat motivasi berprestasi yang berbeda-beda. Menurut Krech, Crutchfield, dan Livson (dalam Yusniarsyah, 1999), perbedaan tingkat motivasi berprestasi tersebut dipengaruhi oleh factor pribadi dan factor linkungan.
Horison (dalam Slavin, 1991) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang diantaranya ialah :
a. Kemampuan seseorang termasuk kemampuan intelektual
b. Semua pengalaman masa lalu seseorang yang mempengaruhi kepercayaan diri, motivasi-motivasi dan kemampuannya.
c. Situasi sekolah sebagai hasil dari seluruh interaksi
Cahyono (1996) menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi, faktor-faktor tersebut adalah :
a. Kebutuhan-kebutuhan pribadi
b. Tujuan-tujuan dan persepsi-persepsi orang atau kelompok yang bersangkutan
c. Cara dengan apa kebutuhan-kebutuhan serta tujuan-tujuan tersebut akan direalisi.
Suatu penelitian yang dilakukan Haditono (dalam Monks dkk, 1998) di indonesia menemukan bahwa cara orang tua mendidik anak memberikan sumbangan dalam pembentukan motif anak dan prestasi anak. Ia menemukan bahwa stimulasi dari kedua orang tua sangat berperna dalam pembentukan motif berprestasi. Hasil penelitian tersebut menunjukan pentingnya memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan sikap dapat berdiri sendiri, terutama dalam hal apa yang dilakukan dan dihasilkan. Anak harus mendapatkan kesempatan mengalami situasi dimana ia dapat berhasil menguasai suatu standar keunggulan, sehingga ia akan dapat merasa memiliki daya suatu kompetensi yang akan memacu perkembangan motivasi berprestasinya (dalam Yuanita, 1999).
Menurut Heckhaunsen dkk ( dalam Monks, 1998) motivasi berprestasi memiliki cirri-ciri melakukan sesuatu dengan lebih baik disbanding dengan suatu standar keunggulan. Standar keunggulan tadi dapat berhubungan dengan :
a. Prestasi orang tua, individu ingin berbuat lebih baik dari pada apa yang telah diperbuat orang lain.
b. Prestasi diri sendiri yang lampau ; bearti individu ingin menhasilkan lebih baik dari pada apa yang dihasilkannya semula
c. Tugas yang harus dilakukannya ; berarti individu ingin menyelesaikan tugas sebaik mungkin
Widjanto (2000) mengemukakan motivasi berprestasi dalam diri seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor, sebagai berikut :
1) Faktor Internal, yaitu faktor-faktor yang dating dari dalam diri individu itu sendiri, yaitu :
1) Keadaan Fisik, antara lain bentuk wajah, tulang badan, warna kulit, dan sebagainya. Kartikawati (dalam Widjanto, 2000) menyebutkan cacat fisik yang dimiliki individu akan dapat menghambat dirinya untuk mempunyaimotivasi berprestasi yang tinggi.
2) Jenis Kelamin, Jung (dalam Widjanto, 2000) menyebutkan faktor jenis kelamin mempengaruhi motivasi berprestasi. Adanya kecenderungan pada perempuan untuk menghindari sukses merupakan faktor yang melatar belakangi rendahnya motivasi pada perempuan.
3) Usia, Neurgaten (dalam widjanto, 2000) mengatakan bahwa kesadaran akan umur yang semakin bertambah menjadi suatu pendorong seseorang untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi.
4) Intelegensi, Pletrotfesa dan Spelete (dalam Widjanto, 2000) mengatakan intelegensi mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang. Semakin tinggi intelegensi akan semakin tinggi pula motivasi berprestasinya. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa individu yang akan intelegensinya tidak terlalu tinggi tetapi memiliki motivasi berprestasi yang tinggi, hal ini karena disamping faktor intelegensi masih banyak faktor lainnya yang turut mempengaruhi motivasi berprestasi
5) Kepribadian, Monks dkk (1990) mengungkapkan bahwa motivasi berprestasi merupakan salah satu aspek kepribadian seseorang yang paling banyak diteliti
6) Minat, menurut Setiawan (dalam Widjanto, 2000) Individu yang mempunyai minat untuk belajar adalah individu yang mampu berkompetisi dan tidak mengharapkan kegagalan akan mempengaruhi motivasi berprestasinya
7) Citra Diri, Ratnawati dan Sinambela (dalam Widjanto,2000) mengatakan bahwa seseorang yang mempunyai citra diri yang positif akan tampak percaya diri, aktif dan berani dalam menghadapi sesuatu, dengan didukung rasa percaya diri yang tinggi individu akan lebih termotivasi lagi dalam berprestasi
8) Keberhasilan yang pernah dicapai, Greene (dalam Widjanto, 2000) mengatakan bahwa kebersihan yang didapat dalam mencapai sesuatu tujuan yang telah direncanakan memiliki arti bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi
9) Tingkat Pendidikan, menurut Hurlock (1990), menyatakan bahwa pendidikan orang tua yang tinggi, berdsarkan pengalaman-pengalaman dan pendidikan yang diperolehnya akan mempunyai pengertian-pengertian yang lebih luas mengenai faktor yang penting bagi perkembangan dan kemajuan anak
2) Faktor Eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu itu sendiri, yaitu :
1. Lingkungan keluarga, Winter Bottom (dalam Widjanto, 2000) mengemukakan terbentuknya motivasi berprestasi bersumber dari cara-cara orang tua dalam mendidik dan mengasuh anak. Orang tua yang mendidikanaknya untuk berusaha menentukan sendiri apa yang sebaiknya dilakukan dan mampu mengerjakan tugas-tugasnya tnpa bantuan orang lain, disertai dengan sikap orang tua yang selalu menghargai setiap prestasi yang telah dicapai anak, sehingga akan menumbuhkan motivasi berprestasi yang tinggi pada anak.
2. Lingkungan Masyarakat, Mc Clellend (dalam Widjanto, 2000) mengatakan motivasi berprestasi merupakan bagian dari ajaran agama, artinya agama juga mengajarkan bahwa seseorang harus memiliki motivasi dalam hidupnya. Orang tua umum mengasuh anak-anaknya sesuai dengan pola asuh yang disesuaikan dengan adat istiadat dan pola hidup yang dianut dilingkungannya
3. Lingkungan Sekolah, Dimyati (1999) mengatakan kondisi lingkungan sekolah yang indah dan pergaulan siswa yang sehat akan memperkuat motivasi siswa untuk berprestasi disekolahnya
4. Social Ekonomi. Presto (dalam Widjanto, 2000) mengatakan dari hasil penelitian diketemukan bahwa prestasi anak-anak dari keluarga yang rendah status ekonominya pada akhirnya kelas pertama lebih tinggi dari pada prestasi anak-anak yang berasal dari keluarga yang status ekonominya mencukupi, karena rupannya anak-anak yang berasal dari social ekonomi rendah lebih cepat menyesuaikan dirinya dengan tugas pekerjaan yang baru.
Anak-anak yang berasal dari social ekonomi yang tinggi, biasanya kurang cepat menyesuaikan diri dengan tugas atau pekerjaan yang baru, karena mereka telah terbiasa dengan sesuatu yang instan. Mereka dapat dengan mudah mencapai tujuan yang mereka harapkan tanpa harus bekerja keras, sehingga mereka kurang termotivasi dalam mencapai tujuan. Sebailiknya anak yang berasal dari social ekonomi yang renah lebih cepat beradaptasi dengan tugas atau pekerjaan baru yang lebih sulit, karena mereka telah terbiasa untuk hidup mandiri, dan dalam mencapai tujuan mereka harus bekerja keras agar hasil yang dicapai maksimal, sehingga mereka akan lebih ternotivasi.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi dalam diri seseorang dipengaruhi oleh dua faktor yang berasal dari dalam diri individu dan faktor yang berasal dari luar diri individu, kedua faktor ini saling berhubungan satu sama lain dalam pembentukan motivasi berprestasi dalam diri seseorang.

5. Hubungan Antara Orang Tua dan Anak
Orang tua membesarkan anak-anaknya dengan maksud agar bila mereka tua nanti anak mampu hidup mandiri dan meningalkan orang tuanya. Orang tua merasakan bahwa mereka bertanggung jawab dalam hal memperhatikan dan melindungi anak sampai anak mampu untuk hidup mandiri. Di pihak lain, anak-anak membutuhkan orang tuanya namun mereka juga ingin tumbuh dewasa, ingin lebih banyak kebebasan, serta hidup mandiri. Masalah yang timbul dari kedua pihak adalah : kapan dan seberapa jauh mereka harus saling menahan, dan kapan saat yang tepat untuk saling member kebebasan. Hal ini dapat menjadikan konflik yang serius pada saat anak berusia belasan (Bell dan Mc Gee, 1980).
Masalah-masalah yang kerap kali timbul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan para orang dewasa, dan pada masa ini remaja justru sedang merenggangkan diri dari orang tuanya, sehingga bimbingan dan uluran tangan orang tua sering ditolak remaja. Mereka juga banyak melakukan kritik dan berbeda pendapat dengan oran tuannya (Gunarso dalam Hendriyani, 2000).
Dari pihak orang tua, mereka mengalami penurunan kepuasan yang drastic pada saat anak-anak tumbuh semakin besar, dan kepuasan ini akan terus menurun pada waktu anak-anaknya mencapai usia belasan, disaat mereka mulai ingin meninggalkan rumah dan orang tua juga akan merasa kecewa dan marah besar bila anak-anaknya gagal dalam meningkatkan dan mengembangkan apa yang dicita-ctakan oleh orang tunya, karena pada masa ini orang tua mempunyai cita-cita yang tinggi tentang anak-anaknya dan hal ini akan menimbulkan kepuasan apbila yang dicita-citakan dapat tercapai (Hurlock, 1990).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan hal yang penting dalam hubungan orang tua dan anak. Anak yang telah remaja biasanya mempunyai pendapat sendiri, sehingga kadang-kadang tidak terlalu setuju dengan aturan orang tuanya. Hal ini dapat menimbulkan konflik yang dapat mengganggu hubungan antar orang tua dan anak, dengan demikian komunikasi yang baik antar orang tua dan anak, maka akan tercipta hubungan yang baik pula.

C. Tingkat Pendidikan Orang Tua
1. Masa Usia Tengah Baya (Middle Adulthood)
Sebagian besar orang tua yang telah mencapai usia tengah baya (kurang lebih 35 sampai 45 tahun) telah mempunyai anak-anak remaja, dan anggota keluarganya terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak yang hidup dan tumbuh saling berhubungan satu dengan yang lain. Masing-masing mempunyai tugas sebagai anggota keluarga : laki-laki dalam keluarga mempunyai tugas sebagai seorang pria dan suami, pemberi nafkah, dan sebagai seorang ayah. Sedangkan wanita dalam keluarga mempunyai tugas sebagai seorang wanita, isteri, dan pengurus keluarga, serta seorang ibu, dan anak remaja dalam keluarga adalah sebagai seorang individu dan sebagai anggota keluarga (Havigghurst dalam Hendriyani, 2000).
Sebagai manusia, orang tua pun tidak berhenti tumbuh dan berkembang. Mereka juga mengalami perubahan dari tahun ke tahun seperti halnya anak-anak. Salah satu masa yang dialami orang sewasa adalah masa krisis usia tengah baya (mid-life crisis), saat dimana orang dewasa ingin melakukan hal-hal yang selalu diinginkannya sebelum terlambat (Bell dan Gee dalam Muslimin 2004). Krisis ini terjadi antara akhir tiga puluhan dan awal empat puluhan, pada saat anak-anak mereka berusia belasan tahun (Hurlock, 1990). Pada saat ini timbul perasaan terjebak dan sia-sia yang sangat mengganggu terutama pada ibu rumah tangga, karena anak-anak telah remaja, rumah kosong sejak jam 08.00 sampai 16.00, dan kerut wajah mulai tampak pada usia empat puluhan. (Rathus dalam Kiranawati 1992). Mereka akan mengalami sidrom empty-nest karena merasa tidak berarti lagi pada saat anak yang terakhir meninggalkan rumah karena kuliah, menikah, atau tinggal ditempat lain.
Erikhson (dalam Kiranawati, 1992) menandai krisis kehidupan pada tahun-tahun pertengahan dengan generativity vs stagnation : orang dewasa madya mempunyai tugas perkembangan membimbing dan memajukan generasi yang lebih muda. Bila individu melampaui krisis ini dengan positif maka dia akan mempertahankan atau meningkatkan kreativitasnya, merangkum nilai-nilai keluargannya, serta membatu membentuk generasi muda.
Dari uraian diatas dapat disimpulakan bahwa pada tengah baya manusia mengalami krisis yang disebut mid-life crisis. Krisis ini dialami setiap individu pada usia antara tiga puluhan awal empat puluhan, tetapi bila masa ini dapat dilalui secara positif maka individu akan dapat melaksankan tugas-tugas perkembangannya dengan baik.

2. Tingkat Pendidikan Orang Tua
Dalam system pendidikan dikenal tiga pilar pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Hal ini berarti tanggung jawab pendidikan anak tidak bisa hanya diserahkan kepada sekolah saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Keluarga sebagai lingkungan pertama dan utama bagi anak berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, baik ketika anak masih kecil maupun ketika sudah dewasa kelak. Besarnya pengaruh keluarga ini disebabkan karena hamper sebagian besar waktu anak dihabiskan didalam keluarga. Namun begitu bagaimana pengaruh keluarga terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh latar belakang keluarga.
Menurut Johnstone dan Jiyono (Ilmoe, 1993) Unsur-unsur dari latar belakang keluarga dapat dipisahkan menjadi tiga bagian, yaitu : dimensi stuktural, dimensi proses dan dimensi aspirasi. Dimensi stuktural dari latar belakang keluarga lebih dikenal dengan status social ekonomi, didalamnya tercakup unsur-unsur : pendidikan orang tua, pekerjaan, jabatan, penghasilan orang tua dan pemilikan barang-barang berharga. Dimensi proses mencakup aktivitas yang dilakukan anak dan orang tua dalam hubungan dengan belajar anak, seperti kegiatan belajar anak dirumah dan sejenisnya. Dimensi aspirasi atau dimensi sikap terdiri dari sikap orang tua terhadap pendidikan dan pekerjaan anak-anaknya dimasa yang akan dating.
Ketiga unsure atau dimensi latar belakang keluarga diatas sebenarnya saling kait-mengaitkan atau saling mempengaruhi satu sama lain. Namun begitu, unsur-unsur dari latar belakang keluarga yang menjadi perhatian dalam penelitian ini lebih dikhususkan pada salah satu unsur dari dimensi structural (status sosial ekonomi), yaitu tingkat pendidikan orang tua. Haditono (dalam Hendriyani 2000) menjelaskan bahwa yang dimaksud tingkat pendidikan orang tua adalah tingkat pendidikan sekolah (formal) yang pernah ditempuhnya.
Menurut Adayani (2000) pendidikan dapat mempengaruhi semua aspek kehidupan, baik pikirannya, perasaan, sikap dan perilakunya. Demikian semakin tinggi tingkat pendidikan semakin luas pengetahuan dan pengalamannya. Kaitannya dengan pola asuh orang tua, Haditono (Kiranawati, 1992) menjelaskan bahwa pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki orang tua akan sangat mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam mengasuh anak. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua makin baik cara mengasuh. Sedangkan Hurlock (1990) menyatakan bahwa dengan pendidikan yang diperolehnya,orang tua akan mempunyai pengertian-pengertianyang lebih luas mengenai faktor yang penting bagi perkembangan dan kemajuan anak. Disamping itu, orang tua juga akan cenderung memberikan kesempatan-kesempatan yang diperlukan anak, missal kesempatan untuk belajar.
Margolin (dalam Muslimin, 2004) menyatakan bahwa pendidikan orang tua akan mempengaruhi didalam sikapnya terhadap anak-anaknya. Sikap yang Nampak adalah sikap terbuka, fleksibel, rasa ingin tahu yang ditunjukan pada dinamika social, sehingga hal ini akan mempengaruhi interaksi yang terjadi antara anak dan orang tua, yang man aide orang tua tentang pengembangan dirinya dialihkan pada anak-anaknya dengan berbagai cara. Selain itu, menurut Saleh (1993), orang tua yang tingkat pendidikannya tinggi akan memiliki bekal-bekal teori pendidikan, sehingga mereka akan dapat mendidik lebih baik dari pada orang tua yang tingkat pendidikannya rendah.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan yang memiliki orang tua sangat berpengaruh pada bagaimana cara orang tua mendidik anak-anaknya. Semakin tinggi pendidikan orang tua, semaikin baik pula cara mendidik dan mengasuh anaknya. Dengan pola asuh yang baik dari orang tua, maka kemungkinan besar anak akan berkembang kearah yang lebih baik.
Tingkat pendidikan yang dimaksud adalah masa pendidikan formal yang pernah ditempuha oleh orang tua, dimulai dari tidak sekolah samapai S3.

D. Hubungan antara Motivasi Berprestasi dan Tingkat Pendidikan Orang Tua Terhadap Prestasi Belajar
Motivasi berprestasi adalah motif yang berhubungan dengan prestasi. Motivasi berprestasi ini mempunyai peranan dalam prestasi seseorang, seperti yang dikemukakan oleh Hurlock (1990) bahwa motivasi berprestasi diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Motivasi berprestasi ini akan mendorong seseorang untuk mengatasi rintangan dalam mencapai hasil yang lebih baik dari hasil sebelumnya, juga akan mendorong seseorang untuk bersaing dengan sehat.
Orang tua mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan motivasi berprestasi anak (Winterbottom dalam muslimin, 2004). Remaja awal, lebih berorientasi kepada teman sebaya dari pada keluarga. Namun demikian, remaja masih tetap membutuhkan kasih sayang, perhatian serta pengertian dari orang tua (Haditono, 1979). Orang tua harus memahami keadaan remaja, sehingga pengasuhan yang dilakukan terhadap remaja tepat.
Selain itu tingkat pendidikan orang tua juga sangat mempengaruhi bagaimana cara orang tua mendidik anak, orang tua yang berpendidikan tinggi tentu mempunyai banyak pengalaman bagaimana cara memberikan pendidikan kepada anak dengan tepat sehingga memberikan motivasi yang tepat pula.
Selanjutnya dilanjutkan diharapkan remaja akan memiliki harga yang tinggi, percaya kepada diri sendiri, mandiri dan optimis dalam menghadapi persoalan sehingga akan meningkatkan motivasi remaja untuk berprestasi (Ancok, 1993)
Tingkat pendidikan orang tua adalah masa pendidikan yang pernah ditempuh oleh orang tua. Semakin tinggi pendidikan orang tua tentu tentu semakin banyak pengetahuan dan pengalamannya, ini sangat mempengaruhi cara orang tua dalam mendidik dan membimbing anaknya. Dengan komunikasi yang baik antara anak dan orang tua akan tercipta hubungan yang baik pula, dengan demikian orang tua akan lebih mudah dalam mengarahkan anak-anaknya dalam segala hal sehingga anak akan lebih termotivasi lagi dalam mencapai prestasi belajar, sesuai yang diharapkan orang tua.


E. Hipotesis
Berdasarkan uraian dalam tinjauan pustaka dan beberapa teori yang dikemukakan maka hipotesis yang diajukan adalah : “ Ada Hubungan yang Positif antara Motivasi Berprestasi dan Tingkat Pendidikan Orang Tua dengan Prestasi Belajar pada Remaja”, semakin tinggi motivasi berprestasi dan semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua maka semakin tinggi prestasi belajarnya, sebaliknya semaikin rendah dari orang tua dan semakin rendah tingkat pendidikan orang tua maka semakin redah pula prestasi belajarnya. 




password rar : smiledotcrew
download lengkap

1 komentar: